KEJAHATAN KORPORASI DALAM KASUS LUMPUR LAPINDO
Kejahatan korporasi “corporate
crime” dapat diartikan sebagai suatu bentuk kerjasama (kelompok) yang sifatnya
terstuktur dalam suatu tindak kejahatan (pidana). Masalah “kejahatan korporasi”
(corporate crime) akhir-akhir ini menjadi pembicaraan yang hangat dan menarik
dipermasalahkan, dalam kaitannya dengan upaya pemerintah untuk menaggulangi
kejahatan ekonomi (economic crime). Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang
sering menimbulkan akibat serius karena dapat merusak struktur dan sistem
ekonomi nasional bahkan mungkin dapat mempengaruhi ekonomi global. Indonesia
sebagai negara berkembang dengan suasana melajunya proses pembangunan telah
membuahkan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat, sementara pada sisi lain
merasakan adanya tendensi jenis kriminalitas tertentu yaitu kejahatan ekonomi
yang apabila dipandang dari segi kualitas menunjukkan adanya peningkatan.
Secara kualitatif, dari waktu ke waktu mengalami perubahan dengan cepat,
seirama dengan bergerak majunya proses pembangunan, terutama didalam kaitannya
dengan pemanfaatan teknologi modern. Dikatakan demikian karena selain para
pelaku kejahatan, umumnya tergolong skilled person yang mampu memanfaatkan
teknologi modern juga didalam kegiatannya terhimpun didalam suatu organisasi
yang rapi dan menjurus ke arah modus “kejahatan korporasi.”
A. Prolog
Kejahatan
yang terjadi pada kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah suatu
kejahatan yang tidak berhenti ketika pelaku berhasil di jebloskan ke dalam
penjara atau memberikan ganti kerugian. Kejahatan ini akan menimbulkan dampak
yang akumulatif dan cenderung melahirkan suatu bentuk kejahatan baru.
Destructive logging/perusakan hutan adalah contoh konkret yang selanjutnya
dapat melahirkan rentetan bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, gagal
panen, gagal tanam dan kebakaran hutan. Bahkan dampak dari destructive logging
dapat menimbulkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi mereka yang tertimpa
bencana ikutan tersebut.
Berikutnya ketidak sigapan negara
dalam menanggulangi bencana akan melahirkan pelanggaran terhadap hak-hak
penggungsi (akibat tersingkir dari tempat hidupnya) yang di nyatakan secara
tegas dalam berbagai perjanjian atau kesepakatan internasional termasuk
covenant on economic social and political right. Inilah yang WALHI sebutkan
sebagai kejahatan yang dapat melahirkan akumulasi dampak dan kejahatan lainnya.
Lingkup kejahatan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup sangatlah
luas. Antara lain terdapat pada sektor kehutanan, perikanan dan kelautan,
pertambangan mineral dan sumber-sumber energi fosil serta sumberdaya air.
Dimana sector tersebut adalah sektor yang paling sering dikelola secara
destructive. Melihat polanya maka dalam pandangan diatas, kejahatan ini
bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri. Kesalahan dalam pengurusan yang
telah berlangsung lama menjadi salah faktor utama pendorong terjadinya
kejahatan tersebut termasuk regulasi yang mengaturnya. Belum lagi lemahnya
penegakan hukum yang berimplikasi pada semakin tingginya tingkat kejahatan
tersebut. Parahnya, (oknum) aparat penegak hukum juga menjadi bagian dari
praktek/modus bagaimana kejahatan ini berlangsung dan dilakukan terus menerus.
Kejahatan korporasi adalah tindak
pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu
korporasi karena aktivitasaktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan
harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.
Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan
korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a
corporation, which is proscribed and punishable by law“ (melakukan suatu
korporasi, atau karyawan yang bertindak atas nama sebuah perusahaan, yang
dilarang dan dikenai sanksi hukum). Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok
dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan
ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas
sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan
kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hokum pidana, tetapi
juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi
(sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk
sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya,
bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas
pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi
bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan
dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif
tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur
organisasional.
B. Kasus
Banjir lumpur panas Lapindo di
Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran
Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo,
Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah
mengakibatkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di
tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa
Timur. Lokasi semburan lumpur panas berada di Kecamatan Porong, di bagian
selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo.
Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan di sebelah
selatan. Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur BanjarPanji-1
(BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai
pelaksana teknis blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan
lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan
Lapindo Brantas di sumur tersebut.
Pihak Lapindo Brantas sendiri punya
dua teori yang berhubungan dengan asal semburan. Pertama, semburan lumpur
berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur
"kebetulan" terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang
belum diketahui. Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi
semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan
Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api
lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.
C. Analisis
Korporasi
yang saat ini sedang mendapat sorotan atas dugaan pelanggaran terhadap
lingkungan yang sedang terjadi adalah Lapindo brantas Inc. yang terkait dengan
luapan lumpur dan gas di Porong Sidoarjo Jawa Timur. Telah 200 hari sejak
pertama kali lumpur itu menyembur dari sumur galian milik Lapindo Brantas Inc.,
salah satu dari berbagai anak perusahaan milik PT. Energi Mega Persada Tbk
(EMP). Lapindo Brantas didirikan khusus untuk mengeksploitasi sumur-sumur yang
ada di Blok Brantas, dalam hal ini, Lapindo Brantas/EMP ibaratnya hanya sebagai
operator, sedangkan saham Blok Brantas tersebut dimiliki bersama oleh PT.
Energi Mega Persada Tbk, PT. Medco Energi Tbk, dan Santoz LTD-Australia
Perusahaan-perusahaan yang menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP merupakan
perusahaan yang juga memiliki berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar
seantero Nusantara.
Perbuatan
pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang telah
terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo Brantas
menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH
sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan terjadinya kejahatan
korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari semburan lumpur
tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun korban serta
lingkungan yang rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang
tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti menenggelamkan Kec. Porong dan
sekitarnya. Yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo Brantas/EMP
sebagai pemegang hak
eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya
kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997
hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal 45 undangundang tersebut. Namun
tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan bahwa penyebab
menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan
atau kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai
korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman. Dan hal ini akan membuat masyarakat
yang mencari keadilan akan terkoyak.
Di
Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat
dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Meskipun
tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem
hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban
pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu :
1. Dibebankan
pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU
No.38/2004 tentang Jalan.
2. Dapat pula
dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau
mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti
yang diatur dalam pasal 20 ayat
3. UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
dan UU No.31/2004 tentang Perikanan
4. Kemudian
kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi
sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya
seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
kejahatan
korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan keperdataan, artinya hubungan
yang menimbulkan tindak pidana tersebut adalah perbuatan perdata. Melakukan
pengeboran yang bertujuan sebagai kegiatan penambangan gas di Blok Brantas oleh
Lapindo Brantas Inc., menurut pengertian kejahatan korporasi adalah merupakan
perbuatan perdata, sedangkan hal yang berlanjut mengenai adanya kesalahan
manusia atau human error dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain adalah
merupakan perbuatan tindak pidana.
Human
error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak dipasangnya pipa
selubung dalam aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu
terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung) yang tidak dilakukan lebih awal
oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah korporasi
dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran.
Kejahatan
korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup,
yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah
korporasi bernama Lapindo Brantas Incorporated. Dampak yang diakibatkan adanya
perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun
juga telah merugikan lingkungan hidup masyarakat Sidorajo. Hal seperti ini
dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan. Dalam kasus Lapindo
ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam
undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup (UULH), hukum Pidana (KUHP)
dan hukum Perdata (KUHPer).
Sanksi
dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah
maupun yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga
dijadikan tersangka sesuai dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU No.23/1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan didalam RUU KUHP Paragraf 7 tentang Korporasi yang dimulai dari pasal
44-49. Hingga saat ini tindakan nyata dari Lapindo
Brantas
(Lapindo) sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi pada Blok Brantas
baru sebatas pemberian ganti rugi terhadap kerusakan fisik yang diderita warga
sekitar daerah bencana. Sementara upaya menghentikan semburan lumpur dan upaya
penanggulangan dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagai akibat lain
dari bencana tersebut belum ditangani secara benar dan sistematis.
definisi tentang perusakan lingkungan hidup yang terdapat
dalam Pasal 1 angka 14 memuat unsure-unsur sebagai berikut :
1. adanya
tindakan, tindakan yang dilakukan adalah pengeboran migas oleh PT. Lapindo
Brantas dalam rangka mengeksplorasi dan ekplotasi sumber migas di Blok Brantas
tersebut.
2. yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak terhadap perubahan fisik dan/ atau
hayati lingkungan, semburan dan luberan lumpur yang masih terjadi saat ini
memuat kandungan bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3) yang mengakibatkan
perubahan langsung terhadap perubahan fisik lingkungan hidup di Kec. Porong dan
sekitarnya yang belum ada kepastian sampai berapa lama lagi luberan lumpur ini
akan berlanjut.
3. yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan
yang berkelanjutan, melihat fakta luberan dan semburan lumpur yang semakin hari
semakin meningkat sudah jelas tidak akan terjadi pembangunan di Kec. Porong
Sidoarjo dan sekitarnya tersebut, daerah ini akan terisolasi dan tidak ada yang
dapat memperkirakan akan sampai berapa lama, bahkan jalan tol antara
Surabaya-Gempol yang melewati daerah semburan lumpur ini diperkirakan akan
ditutup dan tidak dapat dilewati kendaraan tranportasi orang dan barang.
Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian
Koran Kompas, penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung
menempatkan Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan125. Berbeda
dari sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya unsur
kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam
sistem tanggung jawab pidana mutlak, hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan
dari terdakwa, yang artinya adalah dalam melakukan perbuatan tersebut, terdakwa
telah mengetahui atau menyadari potensi hasil dari perbuatannya dapat merugikan
pihak lain, maka keadaan ini telah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban
pidana kepadanya. Hal ini tentu saja dapat dilakukan oleh hakim sebagai living
interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan yang hidup ditengahtengah
masyarakat dan hakim juga dapat mematahkan kekakuan normative prosedural
undang-undang karena seiring dengan perkembangan hukum dan beradabnya
negara-negara di seluruh dunia, hakim tidak lagi sekedar hanya mulut atau
corong undang-undang (la bouche de la loi).
D. Epolog
Penting
untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi dan
juga mengembalikan harkat dan martabat masyarakat korban luapan lumpur Lapindo
Brantas Inc. sehingga kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi,
social dan lingkungan hidupnya. Kasus lumpur panas di Kec. Porong Sidoarjo Jawa
Timur ini harus diungkapkan dengan tuntas dan maksimal, dimana aparat penegak hokum
harus melibatkan pihak-pihak terkait yang tidak saja mengerti akan norma-norma
hukum Indonesia, tetapi juga penyelidikan seharusnya melibatkan penyidik sipil
dari instansi tertentu yang menangani masalah lingkungan baik dari
pemerintahan, pakar-pakar ahli bidang lingkungan maupun anggota-anggota lembaga
swadaya masyarakat (LSM) lingkungan. Pengusutan tidak saja dilakukan dijajaran
karyawan PT. Lapindo Brantas saja, tapi harus juga diusut dari jajaran top
managerial, karena kasus ini tidak lagi merupakan kasus lingkungan biasa yang
akan selesai dengan hanya menerapkan sanksi berupa sanksi denda/administrasi.
1. Analisis
Dampak Dari Lumpur Lapindo (Yis Andispa)
Perbuatan
pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang telah
terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo Brantas
menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH
sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan terjadinya kejahatan
korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari semburan lumpur
tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun korban serta
lingkungan yang rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya, tanpa ada yang
tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti menenggelamkan Kec. Porong dan
sekitarnya. Yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo Brantas/EMP
sebagai pemegang hak
eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya
kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997
hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal 45 undang-undang tersebut. Namun
tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan bahwa penyebab
menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan
atau kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai
korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman. Dan hal ini akan membuat masyarakat
yang mencari keadilan akan terkoyak.
Hingga
saat ini pertanggungjawaban atas kejadian luapan lumpur lapindo pun belum
jelas, ganti rudi yang diberikan oleh pihak Lapindo Brantas terhadap masyarakat
ternyata tidak memberikan suatu keadaan yang cukup, masih banyak masyarakat
yang mengeluhkan tentang ganti rugi yang tidak sepadan dengan apa yang
masyarakat miliki sebelumnya. Hal ini mengakibatkan banyaknya warga yang
terlantar dan tidak mempunyai suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan.
Hal yang
sangat menjadi perhatian dalam kasus ini yaitu tentang pencemaran lingkungan
dimana luapan lumpur lapindo telah menenggelamkan beberapa desa. Hal inilah
yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk menindak lanjuti
permasalahan yang hingga saat ini belum terselesaikan. Seharusnya pemerintah
bertindak tegas agar dampak lingkungan dari lumpur lapindo tidak meluas.
2. Analisis
Tentang Subjek/Pelaku Kejahatan Korporasi Dalam Lumpur Lapindo
Subyek
yang mengakibatkan Dampak dari Lumpur Lapindo, diakarenakan adanya Human error
yang dilakukan oleh Lapindo Brantas, dimana tidak dipasangnya pipa selubung
dalam aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi.
Pemasangan chasing (pipa selubung) yang tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo
ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah korporasi dengan tidak
dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran. Bahwa Banjir
lumpur panas Lapindo di Sidoarjo merupakan peristiwa menyemburnya lumpur panas
di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006.
Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya kawasan permukiman,
pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta
mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
3. Kesimpulan
Dampak Dari Lumpur Lapindo
Bahwa pelanggaran kejahatan ekonomi yang di
timbulkan oleh korporasi (Lumpu Lapindo) telah mencemarkan lingkungan di
sekitarnya, terlebih lagi telah menenggelamkan beberapa desa di sekitar bencana
tersebut.
Bahwa semburan lumpur lapindo telah
merugikan warga yang tempat tinggalnya terendam lumpur, dengan ganti rugi yang
tidak menunjang kehidupan harus diperhatikan secara serius oleh pemerintah.
Bahwa subjek/petinggi korporasi harus
bertanggungjawab atas terjadinya luapan lumpur lapindo yang menenggelamkan rumah warga.
Sebagai penegak hukum, seharusnya masalah
seperti ini harus di tangani secara serius, karena permasalahan yang berkaitan
dengan kejahatan korporasi tersangka sangat sulit di tangkap/pun di kenal
sumber : http://yisandispa.blogspot.com/2011/10/analisis-kasus-tentang-kejahatan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar